Jumat, 16 Juli 2010


Berawal dari Hobi, Kini Menjadi Bisnis
Awalnya hanya menjual Fingerboard ke teman-teman. Kemudian, dengan modal Rp12 juta Dhika dan Desie memberanikan diri untuk memulai bisnis Fingerboard. Mulai menjadi reseller hingga menjadi produsen.

Ketika jalan-jalan ke Taman Mini Indonesia Indah, saya mendapati tempat yang bernama Green Park, tepatnya di sebelah teater Keong Mas. Green Park adalah sebuah tempat yang menyediakan arena untuk permainan Skateboard dan sepeda BMX. Tidak hanya anak kecil, tetapi orang dewasa hingga ekspatriat pun gemar bermain di sana.

Lambat laun permainan Skateboard pun berkembang. Kemudian, muncullah Fingerboard di Indonesia di 2008. Fingerboard atau Finger-Skateboard adalah versi miniatur Skateboard bergerak lengkap dengan wheels (roda), deck (papan) dan trucks (tumpuan roda). Fingerboard memiliki panjang 96 milimeter dan memiliki lebar mulai 26 mm (biasa), 28 mm (lebar), dan 29 mm (ekstra lebar). Jika Skateboard dilakukan dengan kaki, berbeda dengan Fingerboard yang dimainkan dengan jari tangan.

Menurut sejarah, Fingerboard pertama kali dibuat oleh Lance Mountain sebagai mainan buatan sendiri pada 1970-an dan dijadikan gantungan kunci di toko-toko Skateboard. Kemudian, di 2000 an Fingerboard kembali populer di Eropa, khususnya di Jerman dan Amerika Serikat. Hal tersebut mempengaruhi banyak lahirnya produsen Fingerboard. Salah satunya, Blackriver-Ramps dan Oakmood.

Tak mau ketinggalan, Indonesia pun memiliki beberapa produsen Fingerboard. Salah satunya adalah Fingerplant yang berlokasi di Kota Wisata, Cibubur. Sang pemilik Alldhika Ganessha dan Desie Ananta resmi mendirikan Fingerplant di Januari 2010. Menurut sang pemilik, nama Fingerplant sendiri, diambil dari salah satu gaya dari permainan Skateboard, yakni Kickplant.
  
Ketika Duit menanyakan kenapa mereka memilih untuk berwirausaha?, Desie menjawab,”Kami ingin menciptakan lapangan pekerjaan dan menyalurkan idealisme kami. Dengan begitu, kami dapat membuat banyak karya dan ini salah satunya.”

Awal ketertarikannya untuk membuka usaha tersebut ketika Dhika menjual Fingerboard yang dibelinya di online store kepada teman-temannya. “Ternyata banyak teman yang pesan ke saya karena mereka tidak mengerti beli di online store,” jelas pria berusia 24 tahun ini. 

Melihat peluang yang cukup baik di dunia Fingerboard, khususnya di Indonesia. Dhika dan Desie mulai memberanikan diri untuk menekuninya. Bermodalkan Rp12 juta, mereka memulai usaha tersebut. “Modal sebagian dari orang tua,” papar pria yang memiliki banyak tato ini. Saat memulai usaha tersebut, penggunaan modal mereka alokasikan untuk pembelian bahan dan pembuatan website. Selain itu, mereka berdua dibantu oleh sahabat mereka, Ian sebagai product development.

Sebelum memproduksi Fingerboard sendiri, mereka adalah reseller dari beberapa produk Fingerboard luar negeri. Awalnya, mereka mengirimkan e-mail dan proposal ke produsen resmi Fingerboard yang berpusat di Jerman dan Amerika Serikat. Tak lama, mereka pun menjadi reseller resmi Fingerboard di Indonesia. Beberapa produk yang mereka kantongi adalah Blackriver-Ramp.com dan Fingerboard.de yang merupakan produsen dari Jerman. Sedangkan produk Amerika serikat mereka menggandeng produk Oakmood. 

Proses pemesanan sebagai reseller pun cukup mudah. Mereka mengirimkan daftar pesanan barang kemudian mereka mentransfer sejumlah nominal yang mereka pesan.Pesan tersebut akan sampai dalam waktu satu minggu. Untuk masalah harga jual, produsen Fingerboard dari Jerman sudah mematok harga. Fingerplant sebagai reseller mendapat keuntungan 80% dari harga yang telah dibanderol di website resmi produsen Fingerboard Jerman tersebut. Harga yang ditawarkan berkisar dari Rp350 ribu-Rp700 ribu.

Tak cukup hanya menjadi reseller, mereka pun mencoba memproduksi Fingerboard sendiri. Menurut Dhika, ada beberapa langkah yang harus dipersiapkan, yang pertama adalah penyediaan bahan baku Fingerboard. Untuk membuat Deck (papan) Fingerboard, bahan yang diperlukan adalah Veener, yakni kulit kayu, yang bentuknya tipis. Veener yang mereka gunakan adalah jenis Canadian Maple. Jenis kayu ini termasuk kayu impor. “Sebelumnya kami memakai veneer dari kayu jati dan kayu sungkai, tetapi hasilnya tidak maksimal,” terang Dhika. Untuk memperoleh bahan baku tersebut, mereka memperolehnya di perusahaan kayu besar di daerah Kemayoran. Tetapi, kini ia mendapatkannya di perusahan kayu besar di daerah Jati Asih, Bekasi. “Jadi, kami tidak usah repot jika ingin belanja bahannya,” papar Desie, perempuan yang pernah menjadi penyiar di Oz fm ini. Harga yang ditawarkan untuk Veener Canadian Maple ini Rp100.000 per lembar.

Veener yang berupa lembaran kemudian dipotong sesuai pola yang telah dibuat sebelumnya. Setelah tahap pemotongan selesai, langkah yang berikutnya adalah pencetakan Veener. Untuk proses pencetakannya sendiri dibutuhkan alat cetak yang khusus. Sejauh ini, sang pemilik memiliki dua jenis alat cetak. Salah satunya adalah alat cetak yang didatangkan dari Amerika Serikat dengan harga Rp200 ribuan dan satu buah alat cetak yang dibuat sendiri dengan bahan dempul.

Selanjutnya proses pencetakan, proses tersebut memakan waktu hingga 12 jam lebih. Satu cetakan tersebut mampu mencetak lima lembar Veener sekaligus. Proses berikutnya adalah pengeleman. Sejauh ini, Dhika menggunakan lem kayu lokal, seperti lem Fox dan juga satu buah lem impor. Lima lembar Veener tersebut kemudian di lem hingga rapat. Setelah itu, bagian atas papan dilapisi grip tape sesuai bentuk papan.

Proses selanjutnya adalah pemasangan trucks dan wheels. Proses ini tergolong mudah dan hanya membutuhkan waktu yang singkat. Alat yang dibutuhkan hanya obeng.

Untuk penyedian trucks dan wheels, sang pemilik memesannya langsung dari Hongkong. Mereka hanya mengirimkan daftar barang kemudian selang waktu satu minggu barang tiba. Pemesanan barang tersebut biasanya mereka lakukan dua kali dalam sebulan dan setiap order 100 set. “Awalnya kami dihubungi oleh mereka (orang Hongkong) dan harganya oke. Jadi kami ambil dari mereka,” jelas Desie, perempuan alumni D3 Broadcasting UI ini. 

Hingga kini, Fingerplant memproduksi dua jenis Fingerboard, yakni Wide dan Reguler. Untuk pasar Indonesia, jenis Wide lebih laku. “Wide lebih laku karena wide lebih populer di Eropa,” papar pria yang hobi bermain Skateboard ini. Fingerplant kini telah memiliki lima orang karyawan, yang kebanyakannya adalah teman-temannya sendiri. Dalam sebulan Fingerplant dapat memproduksi 50 an buah Fingerboard. Harga Fingerboard tersebut mereka banderol mulai Rp90.000 hingga Rp125.000.

Untuk masalah penjualan, Fingerplant memiliki tradisi yang khas. Mereka menjualnya dengan cara online secara berkala, yakni tiap dua minggu sekali. “Kami menyetok barang mulai jam 12 malam. Jadi, para pembeli menunggunya hingga larut,” papar Desie. Produk yang dijualnya pun beragam, mulai deck, tracks, dan wheels. Dalam sekali penjualan, Fingerplant mampu meraup omset Rp20 juta, dengan margin keuntungannya 80%-100%.

Untuk promosinya, Fingerplant mensponsori para riders nya dalam beberapa kompetisi Fingerboard di Indonesia. “Kami men-support para riders dengan cara menyediakan papan lengkap Fingerboard, kaus, dan topi dari produksi Fingerplant,” terang Dhika. Hingga saat ini, Fingerplant memiliki empat riders, diantaranya Kenjiro, Akbar, Gung Mas, dan Hendra. 

Sejauh ini, para pembeli produk Fingerplant biasanya para pelajar dan mahasiswa. Mereka berasal dari bebagai kota, misalnya Bogor, Semarang, Yogyakarta, Solo, Bali, Palembang, dan Kalimantan. “Malah konsumen kita juga ada yang dari Singapura dan Australia. Mereka adalah orang Indonesia yang sekolah di sana,” papar Desie, perempuan yang lahir di tahun 1986 ini. 


[Aswin Cahyadi]

Fingerplant
Kota Wisata Pesona New Georgia
Blok TB 3 No 3, Cibubur.
Telp : 08567114707
www.fingerplant.com

Perkiraan biaya dan keuntungan
Modal awal Rp12 juta

Omset Rp40 juta/bulan

Margin keuntungan (80%-100%)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar